Alquran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan
oleh allah kepada Muhammad SAW Al-Quran merupakan salah satu dari sejumlah
kecil kitab suci yang telah memberikan pengaruh amat penting dan mendalam dalam jiwa dan tindakan
manusia. Bagi kaum muslimin Alquran bukan saja sebagai kitab suci (scripture)
melainkan juga petunjuk (hudâ) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan
mereka dalam memainkan peran sebagai khalifatullah di muka bumi. Ibarat
katalog sebuah produk barang, Alquran adalah guide bagi pengelola alam
ini sehinga dapat berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya pengelolaan dan
pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas
komitmen manusia terhadap petunjuk Alquran. Karena itu, tafsir dan yang
berkaitan dengannya telah mendapat perhatian besar sejak masa awal perkembangan
Islam sampai masa kini hingga masa mendatang mengingat posisi sentral yang
dimilikinya sebagai hudan.
Sejarah
Tafsir Klasik
Kendati
pada mulanya berkembang secara lisan, tetapi kodifikasi ilmu tafsir telah
dimulai sejak dini. Dalam kitab Thabaqât Ibnu Sa`d (5/216) di sinyalir,
sejarawan Musa bin Uqbah dititipi oleh Kurayb bin Muslim (w 97 H) ‘sepikulan’
onta karangan gurunya, Tarjumân al-Qur`ân, Ibnu Abbas (w. 68 H).
Disebutkan, Ali bin Abdullah bin Abbas (w 118 H) berkali-kali berkirim surat
kepada Musa bin `Uqbah untuk mendapatkan kumpulan karya ayahnya guna ditulis
ulang. Fuat Sezgin, pakar bibliografi turats Islam, mengomentari, “tidak ada
yang menghalangi untuk mengatakan Ibnu Abbas telah menulis sendiri karya
tafsirnya yang sekarang banyak berserakan dalam bentuk kutipan di buku-buku
tafsir”.
Buah
pikiran Ibnu Abbas dalam tafsir banyak yang sampai kepada kita melalui riwayat
yang shahih, terutama yang melalu jalur Ali bin Abi Thalhah. Dalam tafsir
Thabary terekam sekitar 1000 riwayat yang melalui jalur ini. Sebagian pakar
menilai riwayat tersebut mengandung kelemahan karena Ali bin Abi Thalhah tidak
meriwayatkannya langsung dari Ibnu Abbas. Tetapi dengan diketahui ‘perantara’
antara Ali bin Abi Thalhah dan Ibnu Abbas seorang yang tsiqah yaitu
Mujahid (w 104 H) dan Ikrimah (w. 105 H) maka tuduhan tersebut menjadi tidak
relevan (Musykil al-Atsar, Thahawi 3/186). Ahmad Ibnu Hanbal sering memuji
karya tersebut yang pada masanya masih dapat dilihat dan tersimpan di Mesir (Tarikh
Turats `Arabiy, Sezgin 1/180).
Tafsiran Ibnu Abbas
tidak selalu melalui periwayatan dari Rasulullah dan para sahabat (tafsir
bil ma`tsur), tetapi telah ada terobosan baru yaitu tafsir melalui
pendekatan bahasa. Nafi` Ibnu al-Azraq (w. 65 H), pemimpin Khawarij saat itu,
pernah mengajukan 200 kata yang maknanya tidak jelas dalam Alquran kepada Ibnu
Abbas. Dengan piawainya Ibnu Abbas menjelaskan maknanya satu per satu dengan
disertai argumentasi pendukung dari syair Arab jahily.
Tafsir
dengan pendekatan bahasa dan logika secara umum semakin berkembang di tangan
para murid Ibnu Abbas seperti Said bin Jubair (w 95 H), Mujahid, Ikrimah,
Al-Dhahhak (w 105 H) dan Atha` bin Rabah (w. 114 H).
Karya-karya
mereka, selain memuat hal-hal metafisik dan hikayat masa lalu, lebih terfokus
pada kajian kosa kata Alquran. Upaya-upaya tersebut menjadi pijakan bagi
lahirnya banyak literatur tentang kosa kata Alquran (gharîb al-Qur`ân)
pada abad ke 2 hijriah seperti terlihat pada karya Abban bin Tighlib (w 141 H)
dan Zaid bin Ali. Upaya penafsiran secara sintaksis (pendekatan nahwu) juga
telah dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Du`aly (w 69 H), Nashr bin Ashim (w 89 H),
Yahya bin Ya`mar (w. 129 H), Isa bin Umar al-Tsaqafiy (w. 149 H) dan Abu Amr
bin al-`Ila (w. 145 H). Sayangnya, seperti halnya listeratur Islam klasik
lainnya, banyak di antara karya tafsir yang muncul sejak masa awal sampai
pada paruh pertama abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita
kecuali dalam bentuk kutipan di buku-buku ulama yang muncul belakangan.
Beberapa karya penting masa awal yang sampai kepada kita Al-Asybâh wa
al-Nazhâ`ir fi Al-Qur`ân al-Karîm karya Muqatil bin Sulaiman al-Balkhiy (w
150 H), Majâz al-Qur`ân karya Abu Ubaydah (w 210 H) dan Ma`âny
al-Qur`ân karya al-Farra (w 207 H).
Upaya
menghimpun kembali karya-karya ulama masa lalu (abad ke 1 dan ke 2 H) telah
dilakukan pada paruh pertama abad ke 3 H. Imam Bukhari, penyusun kitab hadis shahih,
dalam karyanya banyak memuat penjelasan makna kosa kata Alquran yang kemudian
dikumpulkan dalam bentuk buku tersendiri oleh M. Fuad Abdul Baqy. Selain memuat
beberapa riwayat tafsir, meski terkadang tidak disertai sanad, karya Imam
Bukhari itu banyak memuat pandangan ulama bahasa sebelumnya terutama Abu
Ubaidah.
Usaha
pengumpulan ini mencapai puncaknya dalam karya Imam Thabary (w. 310 H), Jâmi`
al-Bayân fi Ta`wîl al-Qur`ân. Selain memuat tafsir secara utuh karya
tersebut juga dilengkapi dengan sanad periwayatannya. Karena itu tidak
berlebihan jika dikatakan karya Thabari tersebut sebagai puncak karya tafsir
bil ma`tsur meskipun juga banyak memuat pandangan ahli bahasa.
Tafsir
Thabary dikatakan sebagai karya utuh tafsir karena pada umumnya karya yang
muncul sampai pada akhir abad ke 4 H lebih menekankan pada satu kajian tertentu
semisal Gharîb al-Qur`ân dan Musykil al-Qur`ân karya Ibnu
Qutaybah (w 276 H), Fadhâ`il al-Qur`ân karya Abi Ubayd al-Qasim bin
Salam (w 224 H), Ma ittafaqa lafzhuhu wa ikhtalafa ma`nâhu min al-Qur`ân al-Majîd
karya al-Mubarrad (w 285 H), Al-Nasikh wa al-Mansûkh karya Abu
Ja`far al-Nahhas (w 338 H), dan juga tidak menafsirkan seluruh ayat seperti
terlihat pada karya al-Zajjaj (w 311 H), Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu dan
Abu al-Laits al-Samarqandiy (w 373 H), Tafsir al-Qur`ân.
Tradisi
periwayatan dalam tafsir model Thabariy kemudian diikuti selanjutnya pada abad
ke 5 H oleh al-Tsa`labiy (w 427 H) dalam karyanya al-Kasyf wa al-Bayân dan
al-Wahidiy (w 468 H) yang memiliki tiga karya tafsir; al-Wajîz, al-Wasîth dan
al-Basîth.
Catatan
negatif yang sering diberikan kepada model tafsir periwayatan adalah
bercampurnya antara riwayat yang shahih dengan yang dha`îf (lemah)
bahkan mawdhu` (palsu). Tak ubahnya mereka seperti pencari kayu bakar di
malam hari (hâthib laylin) yang tidak bisa membedakan antara ular dan
batang kayu bakar. Karena itu pada awal abad ke 6 H, seorang pakar hadis,
al-Baghawiy (w 510 H) mencoba membersihkan karya al-Tsa`labiy yang dinilainya
cukup banyak memuat informasi tafsir masa lalu dari dalam karyanya Ma`âlim
al-Tanzîl. Selain memuat pikiran tafsirnya, al-Baghawi mendasari banyak
tafsirannya dari karya Tsa`labiy, al-Kasyf wa al-Bayân. Karya
Al-Baghawiy tersebut kemudian diringkas pada awal abad ke 8 H oleh Imam
al-Khazin (w 725 H) dalam karyanya Lubâb al-Ta`wîl. Kepribadian
al-Khazin sebagai seorang sufi yang menyenangi kisah-kisah aneh dalam
nasihat-nasihatnya membuatnya tertarik untuk menukil kembali kisah-kisah yang
ditulis Tsa`labiy dan telah dibuang oleh al-Baghawiy dari karyanya.
Di sisi lain
penafsiran dengan pendekatan bahasa yang lebih rasional berkembang di kalangan
mu`tazilah melalui tokoh-tokohnya seperti Abu Ishaq al-Nazhzham (w 231 H),
al-Jahizh (w 255 H), dan mencapai puncaknya dalam karya Zamakhsyari (w 538 H), Al-Kasysyâf.
Jika
tafsir Zamakhsyari muncul dari belahan timur dunia Islam saat itu, di belahan
barat, tepatnya Andalusia, muncul karya tafsir yang tidak kalah kuatnya yaitu Al-Muharrar
al-Wajîz karya Ibnu Athiyyah (w 546 H). Selain menghimpun banyak riwayat
tafsir dan mengkritisinya, karya Ibnu Athiyyah pun cukup kuat dalam pendekatan
bahasa dan logika.
Pada
abad ke 6 H karya Zamakhsyari mendapat tempat terhormat di kalangan umat Islam.
Pesona keindahan balaghah Aquran yang mewarnai tafsir Zamakhsyari membuat
banyak orang terkesima dan tertarik untuk mengkajinya sehingga lahir beberapa
karya yang berkhidmat kepadanya. Bentuk kajian tersebut antara lain
membersihkan pengaruh aliran mu`tazilah yang ada di dalamnya seperti dilakukan
oleh Ibnu al-Munayyir (w 683 H) dalam ‘al-Intishâf fi mâ tadhamanahu
al-Kasysyâf min al-I`tizâl, atau menjelasakan kata atau ungkapan sulit yang
ada di dalamnya seperti terlihat dalam karya Quthbuddin al-Tahtaniy (w. 766 H)
dan al-Thibiy (w. 786 H), Futûh al-Ghayb fi al-Kasyf `a Qinâ` al-Rayb
yang kemudian diringkas lagi oleh Al-Taftâzani (w 792 H) dalam hâsyiyah-nya.
Sementara
pakar menduga, kelahiran karya al-Raziy (w 604 H), Mafâtîh al-Ghayb atau
al-Tafsîr al-Kabîr, yang mewakili ulama ahlussunnah, juga
dilatarbelakangi oleh pesona al-Kasysyaf. Khawatir umat terpengaruh oleh
muatan i`tizâl di balik pesona keindahan balaghah, al-Razi menyusun
karyanya tersebut dengan mengembangkan uraian balaghah Zamakhsyari dan memberi
warna sunniy dalam beberapa masalah yang menyangkut akidah dan ilmu kalam.
Tak
ayal kedua karya tersebut kemudian menjadi karya yang sangat kuat sehingga
mendasari banyak karya setelahnya. Sebut saja misalnya Anwâr al-Tanzîl karya
al-Baydhawiy (w 685 H). Seperti kebanyakan karya yang muncul sejak awal abad ke
7 H Baidhawi menulis karyanya secara ringkas, tetapi memuat keindahan pesona
balaghah Alquran seperti dalam al-Kasysyâf dan mewakili aliran sunniy
asy`ari yang mencapai puncak kematangannya saat itu di tangan al-Ghazali, Imam
al-Haramain, dan al-Raziy. Penjelasan makna kata, kalimat dan ungkapan Alquran
didapatinya dari al-Kasysyâf, sementara uraian hikmah Alquran, filsafat,
pokok-pokok akidah dan syariah dirangkum dari Mafâtîh al-Ghayb.
Al-Baidhawi berhasil melakukan itu dengan sangat memuaskan.
Dominasi
Sunni di dunia Islam saat itu membuat karya al-Baidhawi menjadi sangat populer.
Boleh dikata, karya al-Baidhawi lah yang membuat karya Zamakhsyari terus
mendapat tempat di hati muslim sunni. Sebagai karya yang cukup kuat, Anwâr
al-Tanzîl melahirkan banyak karya dalam bentuk syarh dan hâsyiyah.
Sampai pada masa Mulla Katib al-Jalabiy (terkenal dengan sebutan Haji Khalifah/
w. 1017 H), penyusun bibliografi literatur Islam (Kasyf al-Zhunûn)
tercatat 50 karya hasyiyat atas karya al-Baydhawi tersebut. Sebut saja
misalnya Hâsyiyat Syeikh Zâdah (w 951 H), Hâsyiyat Ibnu Tamjid (w
880 H), Nawâhid al-Abkâr karya al-Suyuthi dan lainnya. Jika ditambah
dengan karya hasyiyah yang muncul setelah Kasyf al-Zhunûn, seperti
Hâsyiyat Al-Siyalakuti (w. 1067 H), Hâsyiyat al-Syihab (w 1069 H)
yang berjudul `Inâyat al-Qâdhi wa Kifâyat al-Râdhi dan Hâsyiyat al-Qunawiy
(w 1169 H) maka paling tidak terdapat 53 hasyiyah yang ditulis untuk
menjelaskan karya al-Baidhawi tersebut.
Kemiripan
antara karya Zamakhsyari dan Baidhawi dapat dilihat dengan membandingan hasyiyat
keduanya. Imam Suyuthi yang menulis hasyiyat atas karya al-Baidhawi
dalam karyanya banyak menukil penjelasan Al-Thibiy dan Al-Taftazaniy yang
menulis hasyiyat atas karya Zamakhsyari.
Tradisi
meringkas dan mensyarah karya-karya terdahulu masih terus berlanjut di belahan
timur dunia Islam sampai akhir abad ke 9 H dan seterusnya. Dengan dominasi
Dinasti Ottoman tradisi tersebut melebar sampai ke Persia dan Turki. Seorang ulama
saat itu yang menguasai tiga bahasa; Arab, Persi dan Turki, Abu Al-Su`ud (w.
982 H) melanjutkan tradisi tersebut dengan menulis Irsyâd al-`Aql al-Salîm
ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-`Azhîm. Karya tafsir tersebut mengikuti metode yang
dikembangkan dalam karya Zamakhsyari dan Baidhawi.
Tradisi
keilmuan yang berbeda berkembang di belahan barat dunia Islam seperti
Andalusia, Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di timur yang berkembang
adalah syarah dan komentar (ta`liq/hasyiyat) maka di barat tradisi
anilitik tanpa melupakan uraian kata dan ungkapan berkembang dengan baik. Di
antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah (w 803 H) dan al-Jâmi`
li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).
Pada
masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur tafsir yang mendominasi dunia
Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni
yang diwakili oleh tafsir al-Baidhawi dan Abu Su`ud; kedua : tafsir ilmiah
syiah seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân),
ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat dengan istilah teknis ilmiah dan bahasa
yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail Haqqi al-Barsawiy. Ketiga
tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut mempengaruhi kehidupan
Al-Alusiy (w. 1270 H) yang melahirkan karya Rûh al-Ma`âniy. Suatu karya
yang cukup kuat dengan menghimpun ketiga tradisi keilmuan yang berkembang pada
masa Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam
menggali pesan-pesan Alquran dengan perangkat keilmuan yang memadai, selain
juga menampilkan kepribadian sufi dalam dirinya dalam bentuk capaian
makna-makna isyarat di balik lafal Alquran.
Sampai pada al-Alusi
penafsiran Alquran lebih merupakan suatu masalah akademis. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detil terhadap kata-kata
teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para
Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran merupakan
ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan kutipan
dari ensiklopedi tersebut.
Tafsir di Era Modern
Abad ke 14 H merupakan titik awal dalam sejarah kebangkitan umat Islam
secara umum. Bentuk penafsiran yang terkesan akademis dianggap tidak lagi mampu
menjawab tantangan umat saat itu. Adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad
Abduh yang pertama kali menyerukan perlunya pemahamaan baru dalam kehidupan
beragama. Abduh umpamanya mengkritik karya-karya tafsir terdahulu dengan
mengatakan, “Hâdzâ lâ yanbaghi an yusammâ tafsîran, wainnamâ dharbun
minattamrin fil funûn kannahwi wal ma’âni waghayrihim (Tafsir al-Manar,1/24). Menurut Abduh, “Pada hari akhir nanti Allah tidak
menanyakan kita mengenai pendapat-pendapat para mufasir dan tentang bagaimana
mereka memahami Alquran. Tetapi Ia akan menanyakan kepada kita
kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita”. Abduh
berpendapat, yang dibutuhkan oleh umat adalah pemahaman kitab suci sebagai
sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat (Tafsir al-Manar,1/24). Dengan begitu, sudah pasti Alquran
harus dapat memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan umat.
Terobosan Abduh dalam
tafsir Alquran seperti tercermin dalam karya yang dikumpulkan dan dilengkapi
oleh muridnya Rasyid Ridha boleh dibilang sebagai sesuatu yang baru dan
orisinil. Kebaruannya dapat dilihat pada penekanannya yang baru dalam melihat
Alquran, yakni sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spritual. Hemat
penulis, pandangan Abduh yang menekankan perlunya rekonstruksi pemahaman
Alquran, sedikit banyaknya, dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan renaissance
yang menitikberatkan pada pemahaman ulang terhadap kitab suci. Di sinilah
terdapat titik temu gerakan pembaruan di Barat dan Timur.
Seruan Abduh tersebut mendapat sambutan hangat dari para reformis islam. Secara umum terdapat
beberapa kecenderungan (trend) dan metodologi dalam tafsir modern.
Kecenderungan dimaksud, yang dalam bahasa Arab disebut Ittijâh, adalah
kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus
mencerminkan latar belakang intelektual penafsirnya. Dengan kata lain, kesan
umum tentang pemikiran penulis. Tafsir Thabari sering diklasifikasikan
dalam kategori bi-l-Ma’tsur, padahal tidak sedikit kita temukan
penggunaan nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyâf, karya Zamakhsyari,
sering disebut bercorak tafsir aliran atau dogmatis seperti kata I. Godziher.
Padahal Zamkhsyari, seperti dikatakan Jansen, dengan karyanya itu dapat disebut
sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap Alquran setelah
Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir filologi modern. Ini menjelaskan bahwa
klasifikasi yang sering didengar itu hanya sekadar kesan umum yang ditangkap
dari kecenderungan penulisnya. Sedangkan metodologi yang dimaksud di atas
adalah cara yang digunakan mufasir untuk mewujudkan kecenderungan tadi. Dengan
kata lain wadah yang berisikan kecenderungan pemikiran mufasir. Dua istilah ini
sering dipahami rancu dalam beberapa kajian tafsir.
A. Beberapa Tren
Penafsiran Modern
I.Goldziher dalam
karyanya Richtungen der Islamischen Koranauslegung, mengasumsikan ada
lima kecenderungan dalam penafsiran Alquran; (1) penafsiran dengan bantuan
hadits Nabi dan para Sahabatnya; (2) penafsiran dogmatis; (3) penafsiran
mistik; (4) Penafsiran sektarian; (5) penafsiran modernis. Goldziher dalam
karyanya itu belum sempat membahas tren yang berkembang pascaAbduh. J. Jomier
dalam beberapa karyanya juga belum dapat membuat potret utuh tentang penafsiran
modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam karyanya, Modern Muslim Koran
Interpretation. Sebuah studi yang paling sukses dalam mengungkap
kecenderungan tafsir modern dapat dilihat pada karya Iffat. M. Syarkawi, Ittijâhât
al-Tafsîr fil ‘Ashril Hadîts. Menurutnya tafsir modern yang disebutnya
sebagai tafsir praktis, memiliki tiga kecenderungan utama; (1) sosial
kemasyarakatan (ittijâh ijtimâ’iy); (2) tafsir saintifik (ittijâh
‘ilmi); (3) interpretasi filologik dan sastra (ittijâh adabiy).
Kategorisasi yang sama juga dilakukan oleh J.J.G. Jansen dalam karyanya, The
Interpretation of The Koran in Modern Egypt, dan DR. M. Ibrahim Syarif
dalam karyanya, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-Qur’ân al-Karim fî Mishr.
A.1. Tren Sosial
Kemasyarakatan
Problem utama yang
dihadapi umat islam di awal abad ini, setelah mengalami kemunduran dan terpecah
belah, adalah mengatur siasat untuk melawan dominasi Barat dalam berbagai
sektor kehidupan; militer, ekonomi dan budaya. Sudah barang tentu diperlukan
cara pandang baru dalam melihat kehidupan. Diharapkan umat islam dapat memilih
dan memilah produk nilai dan norma kehidupan modern. Kritik intrinsik (naqd
dzâtiy) ini mengharuskan para reformis islam untuk mengkaji ulang Alquran
dan sunnah. Hal yang sama juga dilakukan para reformis islam dalam sepanjang
sejarah setiap kali umat menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun luar.
Apa yang dilakukan
mufasir modern sebenarnya hanyalah kepanjangan dari karya-karya mufasir klasik.
Bedanya, mufasir klasik, seperti dikatakan Iffat, dalam banyak hal sering
menggunakan pendekatan filosofis dalam menghadapi tantangan zamannya. Sementara
mufasir modern lebih menekankan pada gagasan-gagasan praktis yang langsung
menyentuh persoalan umat. Yang patut dikagumi, para mufasir modern berhasil
mengkompromikan temuan-temuan mufasir klasik dan mengemasnya dengan baik
sehingga tepat dan jitu dalam menyelesaikan masalah. Tema-tema politik,
persatuan, ekonomi, dan masalah-masalah sosial lainnya kerap kali ditemukan
dalam karya-karya seperti Abduh, Rasyid Ridha, al-Maraghy, Syaltout dan
lainnya.
Upaya tersebut paling
tidak telah mampu menyaring dan mengerem laju peradaban Barat. Bila tidak,
dapat dibayangkan peradaban islam akan kehilangan identitasnya. Di sisi lain,
usaha tersebut berhasil mengobati kebimbangan umat dalam dua hal; produk baru
peradaban Barat yang sangat asing bagi umat, dan keinginan hati untuk
mengembalikan kejayaan turats peradaban islam. Satu hal yang patut
disayangkan, penganut aliran in seringkali terkesan reaksioner dan lamban dalam
mengantisipasi persoalan. Sehingga yang terkesan, hanya mengekor dan sekadar
menjustifikasi gelombang pembaruan yang tengah terjadi.
A.2. Penafsiran
Saintifik (ittijah ‘ilmy)
Kecenderungan
menafsirkan Alquran dengan teori-teori ilmu pengetahuan sebenarnya telah lama
dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa
pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M) akibat penerjemahan kitab-kitab
ilmiah. Kecenderungan ini muncul sebagai upaya kompromi dalam polemik hubungan
antara Alquran dan ilmu pengetahuan. Karya al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân,
seringkali dikutip dalam membela keabsahan tafsir ilmiah. Dalam buku kecilnya
itu, al-Ghazali mengajarkan bahwa Alquran hanya akan menjadi jelas bagi mereka
yang mempelajari ilmu penegetahuan yang digali darinya. Seseorang tidak bisa
memahami Alquran tanpa pengetahuan tata bahasa Arab dan orang tidak bisa
memahami apa yang dimaksud oleh ayat seperti “dan apabila aku sakit, Dialah
yang menyembuhkan aku”, jika ia tidak mengerti kedokteran.
Pro-kontra tentang
tafsir ilmiah selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh klasik dan modern. Selain
al-Ghazali, al-Razi, al-Mursi dan Al-Suyuthi juga dikelompokkan sebagai
pendukung tafsir ini. Berseberangan dengan mereka, al-Syathibi menentang keras
penafsiran model seperti ini. Dalam barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung
tafsir ini seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari, Hanafi Ahmad berseberangan
dengan tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas Aqqad.
Polemik-polemik
tersebut menghasilkan formula kompromistik yang mengatakan bahwa Alquran memang
berisi kebenaran ilmu pengetahuan. Namun demikian Alquran tidak bisa diperlakukan
sebagai sebuah buku teks ilmu pengetahuan. Alquran lebih merupakan buku
petunjuk (hidayah) daripada teori-teori ilmu. “Memahami ayat-ayat
Alquran sesuai penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham
tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur’aniyah dan tidak
beretentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan bahasa”, demikian Quraish
mencoba menengahi.
Munculnya tafsir
ilmiah modern, menurut Jansen, berhubungan dengan awal pengaruh Barat terhadap
dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh kedua abad kesembilan
belas dunia islam berada di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas
kawasan Arab dan Muslim ini hanya dimungkinkan oleh superioritas teknologi
Eropa. Bagi seorang muslim, membaca tafsir Alquran bahwa persenjataan dan
teknik-teknik asing yang memungkinkan orang-orang Eropa menguasai umat islam
sebenarnya telah disebut dan diramalkan di dalam Alquran, bisa menjadi pelipur
lara. Inilah yang diungkapkan M. Quraish Shihab sebagai kompensasi perasaan Inferiority
Complex (perasaan rendah diri). Lebih lanjut Quraish menulis, “Tidak dapat
diingkari bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat bius yang dapat
meredakan sakit, meredakan untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya.”
Pandangan optimistik
terhadap tren ini dilontarkan oleh Iffat. Menurutnya, tren ini berusaha
membangun rumah baru bagi peradaban islam setelah umat islam mengalami dualisme
budaya yang tercermin pada sikap dan pemikiran. Dualisme ini melahirkan sikap
kontradiktif antara mengenang kejayaan masa lalu dan keinginan memperbaiki
diri, dengan kekaguman terhadap peradaban Barat yang hanya dapat diambil sisi
materinya saja. Sehingga yang terjadi, budaya di kawasan Muslim ‘berhati islam,
tetapi berbaju Barat’. Upaya mufasir ilmiah pada hakekatnya ingin membangun
kesatuan budaya melalui pola hubungan harmonis antara Alquran dan ilmu
pengetahuan modern yang menjadi simbol peradaban Barat.
A.3. Interpretasi
filologik dan sastra (Ittijâh Adaby)
Di awal abad modern,
kecenderungan ini sebenarnya telah dimulai oleh penganut tren sosial
kemasyarakatan seperti, M. Abduh, Rasyid Ridha dan al-Maraghy. Tetapi usaha
mereka baru sebatas mengungkap sekilas retorika Alquran, belum dalam bentuk
sebuah metode ilmiah. Sebab menurut mereka tujuan tafsir adalah mewjudkan hidayah
Alquran.
Tren ini mencapai puncak kematangannya di tangan Amin al-Khuli. Menurutnya,
Alquran harus diperlakukan sebagai kitab berbahasa Arab yang terbesar (Kitâb
al-Arabiyyah al-Akbar). Maka hak-hak kebahasaannya harus dipenuhi terlebih
dahulu sebelum maksud-maksud lain. Amin mengatakan bahwa secara ideal studi
tafsir harus dibagi dalam dua bagian : (1) kajian sekitar Alquran, dirâsah
hawl al-nash, dan (2) kajian terhadap Alquran itu sendiri, dirâsah fi
al-Qur’ân nafsihi. Kajian sekitar Alquran diarahkan pada
aspek sosio historis, geografis, kultural dan antropologis wahyu. Studi
terhadap latar belakang ini tidak jauh berbeda dengan yang diperkenalkan oleh
Noldeke dalam karyanya, Geschichte des Qoran, sebagai “pendekatan
historis tradisional”. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pada pelacakan
kata-kata semenjak pertama diturunkan, pemakaiannya dalam Alquran serta
sirkulasinya dalam bahasa Arab. Dia memberi alasan
bahwa Alquran datang dengan sebuah pakaian Arab (fî tsaubihi al-arabiy)
dan karena itulah untuk memahami Alquran sesempurna mungkin kita harus
mengetahui sejauh mungkin keadaan bangsa Arab ketika Alquran diturunkan.
Sayyid A. Khalil menilai, sebenarnya gagasan yang disampaikan al-Khuli
tidak lain adalah gagasan yang telah diperkenalkan oeh Schleirmacher yang
dikenal sebagai pendekatan hermeneutik. Khalil tidak berlebihan, sebab al-Khuli
adalah sosok yang dikenal banyak berinteraksi dengan kajian-kajian Barat,
khususnya di bidang sastra. Ini tidak berarti pendekatan tafsir seperti ini
berasal dari Barat. Sebab jika ditelusuri pendekatan hermeneutik dalam mengkaji
teks telah berkembang lama sejak awal masa islam. Ibnu Abbas, Abu Ubaydah,
al-Zamakhsyari dan al-Jurjani tidak dapat diragukan lagi kedudukannya sebagai
peletak dasar-dasar filologi dan sintaksis Alquran. Ini membuktikan adanya ta’tsîr
dan ta’atstsur positif antara Barat dan Islam sejak dulu.
Sampai akhir hayatnya, al-Khuli tidak meninggalkan karya utuh sebagai
penjabaran atas metodenya, kecuali beberapa buku kecil hasil ceramahnya di
radio yang diberi judul Min Hadyil Qur’ân. Tetapi murid-muridnya seperti
Bintu Syathi dan M.A. Khalfallah berhasil mempraktekkannya dengan apik dalam
beberapa karya yang memberikan kontribusi besar dalam kajian Alquran modern.
B. Metodologi Penafsiran Modern
Di muka telah disinggung, metode dimaksud adalah cara yang digunakan
mufassir untuk mengungkapkan segenap pandangan dan pikiran yang menjadi
kecenderungannya.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa
kodifikasi tafsir, yang oleh sementara pakar diduga dimulai oleh al-Farra
(w.207 H), adalah menafsirkan Alquran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya
dalam mushaf. Segala segi yang ‘dianggap perlu’ oleh sang mufasir diuraikan,
bermula dari arti kosa kata, asbab al-Nuzul, munasabah, dan
lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal
dengan metode tahlily atau tajzi’iy dalam istilah Baqir Shadr.
Para mufasir klasik umumnya menggunakan metode ini. Kritik yang sering
ditujukan pada metode ini adalah karena diangap menghasilkan
pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Alquran digunakan
sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa
metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan umat
karena terlampau teoritis.
Sampai
pada awal abad modern, penafsiran dengan berdasarkan urutan mushaf masih dapat
ditemukan. Tafsir al-Manar, yang dikatakan Ibnu Asyur (JR) sebagai karya trio
reformis dunia islam; Afghani, Abduh dan Ridha, disusun dengan metode
tersebut. Demikian pula karya karya reformis lainnya seperti, al-Qasimi,
al-Maraghy, Izzat Darwaza dan Ibnu Asyur. Yang membedakan karya-karya modern
dengan klasik, para mufasir modern tidak lagi terjebak pada
penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat praktis. Jarang sekali
ditemukan dalam karya mereka pembahasan gramatikal yang bertele-tela.
Seolah-olah mereka ingin cepat sampai ke fokus permasalahan yaitu menuntaskan
persoalan umat.
Sampai di sini, penulis merasa lebih sreg menyebut
metode ini dengan metode maudhi’iy (sesuai tempat atau posisi ayat yang
berurutan). Menyebutnya dengan tahlily, dengan pengertian analisis,
terasa tumpang tindih dengan yang dikenal sebagai metode maudhu’iy
(tematis atau topikal). Sebab karya-karya modern, meski banyak yang disusun
sesuai dengan urutan mushaf tidak lagi mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan
tema-tema persoalan umat banyak ditemukan tuntas dalam karya seperti al-Manar.
Demikian pula, metode maudhu’iy yang berkembang saat ini meski jarang
menggunakan analisis gramatikal dalan lainnya, juga masih memerlukan analisis
dengan teori-teori ilmu sosial modern misalnya.
Metode kedua yang dikembangkan mufasir modern, seperti
telah disinggung, adalah metode maudhu’iy yang membahas tema-tema pokok
dalam suatu surat atau ayat-ayat tertentu. Embrionya sudah lama muncul sejak
diperkenalkan oleh al-Razy, al-Syathiby, Abu Hayyan dan al-Biqâ’iy. Kesemuanya
berpendapat perlunya pemahaman ayat secara utuh. Di samping akan memunculkan
sisi kemukjizatan Alquran, metode ini diharapkan mampu menuntaskan persoalan
umat.
M. Abduh dalam beberapa karyanya telah menekankan
kesatuan tema-tema Alquran. Namun gagasannya tersebut baru diwujudkan oleh
murid-muridnya seperti M. Abdullah Diraz (bukan Darraz) dan Mahmud Syaltout.
Pendekatan hermeneutik Barat yang diadopsi al-Khuli dalam ittijah adaby
nya sebenarnya juga menitik beratkan pemahaman kesatuan teks-teks kitab suci.
Al-Khuli misalnya menyatakan, “Yang ideal adalah menafsirkan Alquran secara
tematis, tidak menurut urutan mushaf.”
Sejauh ini, penulis masih belum melihat pagar-pagar metodologis yang kuat
dalam pengembangan metode ini, khususnya yang dikembangkan Quraish Shihab di
IAIN. Sehingga kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti,
‘tingginya subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang ‘mengikat” generasi
berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya.
Quraish memberikan ilustrasi metode maudhi’iy (tahlily)
sebagai penyajian makanan dalam bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhu’iy
(tematis) diilustrasikan seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak
makanan. Yang ingin cepat tentu akan memilih kotak ketimbang harus memilih
makanan di meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang menuntut
penyelesaian cepat. Maka maudhu’iy tentu lebih tepat. Tetapi yang perlu
diingat, kotak-kotak makanan itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang
tersedia dan kemampuan kateringnya. Yang membaca karya-karya tematis Quraish
dan Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Alquran nya akan dapat merasakan
kualitas ‘katering’ masing-masing.
Bentuk
lain dari metode penyajian tafsir modern adalah artikel-artikel tafsir yang
sering ditemukan dalam kolom-kolom harian. Di tahun 1959, Abdurahman al-Banna,
saudara kandung Hasan al-Banna, misalnya, banyak menulis dalam harian umum
Kairo, al-Jumhuriyya. Dalam artikel ringkas ini ia menawarkan suatu
penafsiran terhadap surah al-Hujurat, di mana Alquran bicara tentang
perselisihan dalam masyarakat muslim. Masing-masing ayat dalam surah ini
dibahas olehnya dalam lebih dari satu artikel. Hal serupa juga sering dijumpai
dalam jurnal al-Manar pimpinan Rasyid Ridha dan Risalat al-Islam
pimpinan Syaltout yang mencurahkan pada persatuan umat islam (Al-Taqrib Bayn
al-Madzahib).
Metode
ini oleh Sayyed Mursy, dosen penulis di Al-Azhar, disebut dengan maudhu’iy
muthlak (tidak terikat), sedangkan yang terdahulu disebut maudhu’iy
muqayyad (terikat). Agaknya ketiga metode inilah yang banyak digunakan
dalam menyajikan pesan-pesan Alquran oleh para mufasir modern. Wallahua`lam.
oleh : Arifin, S.Pd.
oleh : Arifin, S.Pd.
*Pengajar Tafsir Pada Madrasah dan
Pondok Pesantren di Wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) Jakarta bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta, di Asrama Haji Donohudan, 13-14 Juli 2007 sumber : http://arifinsujud.blogspot.com/p/sejarah-tafsir-klasik-dan-modern-oleh.html
Komentar
Posting Komentar